Sebenarnya Surabaya Mau Dijadikan Apa?
Editor : Taufik H | 05.00 wib
Dok.newspantau/istimewa.
Kata Siapa Surabaya Romantis kalau Malam Hari? Lebih Ngeri sih, Iya!
----------------------------------------------------------------------------------
NewsPantau.com -- Saya mengenal Surabaya sebagai Kota Pahlawan, kota yang kaya dengan warisan budaya. Dan saya adalah mahasiswa yang dituntut untuk mengkritisi kota Surabaya sebagai kota kreatif. Bukannya bagaimana, sebagai penghuni kota sebelah saya sudah berpikir bahwa Surabaya adalah kota warisan dan sejarah. Membayangkan Surabaya sebagai kota kreatif agaknya masih belum terlalu nyantol di pikiran saya saat ini.
Dan tiba-tiba, muncul wacana bahwa Surabaya memiliki potensi besar menjadi kota kreatif karena memiliki beberapa faktor pendukung salah satunya tersedianya SDM yang berkualitas dan berbakat. Yang nantinya diharapkan mampu menghasilkan karya-karya kreatif yang inovatif dan kompetitif.
Lho, bentar-bentar, kok tiba-tiba menyesuaikannya ke situ?
Surabaya sendiri sebenarnya sudah memperkuat rencana sebagai Ibu Kota Digital Asia yang mana sudah dibentuk bentuk dari beberapa agenda konferensi internasional Startup Nasions Summit (SNS). Acara ini diadakan pada tanggal 14 hingga 15 November 2018 dengan acara Inno Creativation dan Bekraf Festival 2018 pada tanggal 14 hingga 17 November 2018 dan selanjutnya ditutup dengan Mlaku-Mlaku Nang Tunjungan. Hal ini dilanggengkan agar Surabaya menjadi pusat Industri Kreatif di Asia dan ASEAN serta mengimplementasikan Teknologi Informasi kota tersebut.
Untuk mendukung Surabaya sebagai bagian dari implementasi kota yang mendukung industri kreatif, Surabaya telah membentuk Surabaya Creative Network (SCN) pada Februari 2016 lalu. Juga menjadi salah satu kota yang terlibat dalam Creative Cities Network (CCN) UNESCO sejak tahun 2021, dengan bidang fokus sastra. Yang mana keterlibatannya bertujuan sebagai penghubung kota-kota yang komitmennya meningkatkan kreativitas dalam SDGs. Juga adanya komunitas dan jejaring yang kuat dan aktif yang dapat mendorong kolaborasi, pertukaran, dan pembelajaran para pelaku industri kreatif. Seperti konsep Creative City oleh Charles Landry dalam bukunya The Creative City yang menyebutkan bahwa menjadi kota kreatif harus memiliki Creative Class.
Kreatif tidak sama dengan sejahtera
Namun ada yang agak ketinggalan dalam pendapat Charles Landry bahwa memiliki kelas kreatif (Creative Class) dapat mendukung SDM sebuah kota, apalagi ekonomi masyarakat itu sendiri. Benar bahwa kota kreatif merupakan bagian dari kita yang bisa beradaptasi dan bertahan seiring perkembangan zaman. Namun, agaknya sedikit disadari bahwa menjadi kreatif sudah keluar dari konteks kesejahteraan.
Studi di Berlin ibukota Jerman contohnya, tidak menjamin bahwa menjadi kota kreatif akan menjadikan SDM-nya sejahtera. Pada tahun 2012 lalu, Berlin memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di Jerman dengan rincian 30% ilmuwan sosial dan 40% seniman pengangguran. Ada banyak dilematis dalam tubuh “Kota Kreatif” yang akhirnya memaksa Richard Florida mengklarifikasi dan menanyakan maaf terkaitnya pada kalimat Manifesto Not in Our Name (NiON). Berawal dari tahun 2002 Richard Florida meluncurkan sebuah buku berjudul The Rise of Creative Class , gagasannya mengenai peran pekerja dan ekonomi kreatif. Menurutnya pertumbuhan kota kreatif dapat menjamin kehidupan para pekerja kreatif.
Namun yang jadi pertanyaan di Surabaya Creative City, apa yang bisa saya pikirkan dengan kota ini? Bangunan-bangunannya yang megah? Laju pertumbuhan pembangunan yang sangat cepat dan pesat? Bukan. Yang menurut saya Surabaya adalah kota yang menciptakan kenangan tentang lagu-lagu fenomenal jaman 90-an atau tentang warisan budaya seperti ludruk dan lontong balapnya yang tiada duanya. Kota Kreatif agaknya bisa dibangun dalam konsep seperti itu, namun agaknya para pegiat Kota Kreatif tidak tertarik untuk mengangkatnya sebagai identitas asli Surabaya. Sayang sekali. Padahal Surabaya sangat kaya akan budaya dan sejarah.
Yang familiar dengan Sparkling Surabaya pasti paham bagaimana perjalanan branding kota yang digunakan oleh Surabaya sejak tahun 2006 ini. Tujuannya untuk mengubah citra Surabaya sebagai kota industri menjadi kota wisata yang dinamis, semarak, dan berwawasan global. Dari sini saja sudah bisa ditangkap bahwa Surabaya bukan akan dicitrakan sebagai kota yang kaya akan warisan sejarah dan budaya. Padahal berangkat dari sejarah pun, kota ini tidak kehilangan jati dirinya yang macho dan anggun itu.
Terlihat bahwa masalah sebenarnya adalah inkonsistensi Surabaya dalam membangun branding kota. Satu sisi dia dikenal sebagai kota sejarah, satu sisi dia dikenal dengan wajah yang benar-benar berbeda.
Pertanyaannya adalah, sebenarnya Surabaya itu mau jadi apa?
#arah pembangunan
#kota kreatif
#inkonsistensi
#Surabaya
#kota Pahlawan