Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

HAN, Lia Istifhama : Spiritualitas "ILMU" Anak di Masa Pandemi Covid-19

Oleh : Dr. Lia Istifhama, M.E.I 

19:05 WIB

Dok.newspantau/istimewa.
Wakil Sekretaris MUI Jawa Timur, Dr. Lia Istifhama, M.E.I saat diskusi secara vitual lalu.
---------------------------------------------------------------------------------

News-Pantau.com - Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) pada tanggal 23 Juli lalu, menjadikan momentum orang tua untuk mendukung terwujudnya ‘Anak Terlindungi’ yang menjadi pondasi tercapainya ‘Indonesia Maju’. Makna Anak Terlindungi, tentunya dalam banyak aspek, diantaranya adalah bagaimana melindungi masa depan anak dari potensi lost generation. 

Tatkala direlevansikan pada situasi pandemi Covid 19, maka melindungi anak harus mempertimbangkan segala dampak dari pandemi. Melalui tulisan kecil ini, muncul sebuah gagasan bahwa anak terlindungi adalah melindungi atas ‘ILMU’ yang dimiliki anak. 

ILMU yang dimaksud adalah Iman dan imun, Logika berpikir (koginitif), Mimpi (cita-cita) anak, serta Usia anak. Tentunya akan sangat menarik dan penting, jika mengulas konsep ‘ILMU’ tersebut menjadi sebuah spiritualitas, yaitu direlevansikan dalam perspektif agama.

Iman dan Imun. 

Seperti kita ketahui, bahwa situasi pandemi menjadikan imunitas (kekebalan tubuh) adalah hal penting yang harus dijaga. Namun tentunya, imunitas tidak dapat dibenarkan jika menurunkan kadar iman (tingkat religiusitas) seseorang.

Dalam sebuah hadis disebutkan pentingnya kesehatan (imun) setelah aspek keyakinan (iman): “Sesungguhnya tiada sesuatu pemberian Allah sesudah keyakinan (iman) lebih baik daripada kesehatan.” (HR. Ibnu Majah).

Iman dan imun bukanlah kewajiban orang dewasa untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk anak-anak yang ada di sekitarnya. Dalam hal ini, Iman adalah pondasi yang menjadi keterlekatan pertumbuhan moral anak. 

Jika pondasi agama baik, yaitu terdapat didikan perilaku ‘ubudiyah, maka seyogyanya moral dan tata krama anak pun berkembang positif. 

Logika Berpikir (Kognitif).

Dalam hal ini, bagaimana anak memiliki pola pikir dan penalaran/pemahaman sesuai perkembangannya. Dikaitkan pendidikan, aspek ini disebut kognitif, yaitu pemikiran atau kemampuan untuk berpikir. Perkembangan aspek kognitif anak ditentukan pertumbuhan usianya. 

Sebagai contoh, pada usia 7-11 tahun, seorang anak mampu melakukan pengurutan, pengklasifikasian, hingga pemahaman kausalitas secara secara rasional dan sistematis. Kemudian saat anak di atas 11 tahun, seorang anak mampu menarik kesimpulan serta analisa.

Kualitas kemampuan berlogika pada anak, ditentukan dari aktivitas literasi yang didapatkannya melalui pembelajaran. Dalam Islam, dijelaskan metode Rabbani, yaitu pembelajaran secara bertahap, dari ilmu pengetahuan yang kecil (sederhana) hingga yang besar (sulit).

Pentingnya mengasah logika anak juga disebabkan kemampuan menghafal yang kuat saat ditempa di usia kanak-kanak. Bekal pengetahuan dan hafalan yang cukup bagus saat seseorang masih kanak-kanak, akan menjadi bekal terbentuknya kecerdasan di usia dewasanya, dalam sebuah hadis dijelaskan: “Hafalan anak kecil adalah seperti tatahan pada batu dan hafalan orang sesudah tua adalah seperti menulis di atas air.” (HR. Khatib dari Ibnu Abbas).

Mimpi dan Cita-cita. 

Dalam agama (Islam), dijelaskan kewajiban orang tua: “Sesungguhnya adalah termasuk kewajiban orang tua terhadap anaknya mengajarinya menulis, memberinya nama yang baik dan mengawinkannya apabila telah sampai umur.” (HR. Ibnu Najar dari Abu Hurairah). 

Dengan begitu, agama telah menekankan peran besar orang tua dalam mendidik anak. Terlebih, jika orang tua memahami makna ‘syubbanul yaum rijalul ghod’, yaitu pemuda sekarang yang kelak menjadi pemimpin. 

Maka tidak ada alasan bagi orang tua untuk mengabaikan pentingnya peran mereka dalam menjaga kelangsungan bangsa ini. Bagaimana potret Indonesia ke depan, adalah bergantung pada bagaimana didikan yang didapat anak-anak sekarang ini.

Problem pandemi, yaitu implikasi adanya sekolah daring, sangat jelas terlihat. Ketakutan banyak pihak atas potensi lost generation, tidak dapat dianggap isapan jempol belaka. Mengingat, generasi Z (kelahiran 1995-2012) dan generasi alpha (diatas 2012), merupakan dua generasi yang kehidupannya sangat identik dengan digitalisasi. 

Yang (seharusnya) menjadi pertanyaan dalam benak orang tua sekarang adalah: “Diantara youtuber dan dokter, manakah yang menjadi mimpi dan cita-cita anak?”

Akan sangat patut disesalkan, jika kemudian anak-anak memiliki brainstorming bahwa profesi dalam dunia digital terlihat lebih menarik, mudah, menguntungan, dan membanggakan, dari pada profesi lain yang menuntut banyak keilmuan. 

Kita pun kemudian bertanya: “Masihkah ada anak-anak yang memiliki mimpi dan cita-cita melalui minat belajarnya?” Mengingat pada masa kita berada dalam bangku sekolah, doktrin “Rajin belajar pangkal pandai mulia dan gapailah cita-citamu setinggi langit” sangat terpatri.

Usia Anak. 

Dalam Islam diterangkan sebuah hadis: "Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian". 

Dengan begitu, Islam telah menjadi agama rahmatan lil’alamin, yang menekankan pentingnya sikap orang tua beradaptasi pada perkembangan zaman. Direlevansikan pendidikan, kita semua mengakui bahwa digital memang menjadi core (inti) dari semua media pembelajaran. Namun seyogyanya muatan ilmu harus tetap terjaga sebagai inti dari proses pendidikan.

Peran orang tua sangat dibutuhkan dalam menjaga lingkungan anak sesuai usia mereka dengan tetap menguatkan spirit keilmuan, terlebih di era pendidikan daring (digital). Dalam hal ini, digitalisasi memang menjadi identitas perkembangan zaman, namun bukan berarti diikuti secara bebas tanpa ada filterisasi dan pemanfaatan yang tepat agar digital tidak identik dengan hiburan saja, melainkan juga media edukasi.

Terlebih, jika digital secara nyata mampu menjadi penguat interaksi sosial (ukhuwwah Islamiyyah) dan bukan penguat content bullying, hoax, maupun hate speech. Digital pun, seharusnya mendapatkan perhatian besar agar tidak berpotensi menurunkan aspek motorik anak.

Pada akhirnya, menjaga Spiritualitas ‘ILMU’ Anak adalah peran penting yang bisa diambil para orang tua. Jika Iman dan imun anak terjaga, maka Logika berpikir (koginitif)-nya akan berkembang baik sehingga mereka memiliki Mimpi (cita-cita) yang positif dan kehidupan yang normal seperti perkembangan Usia-nya.

(Red).