Perempuan Tani HKTI Jatim saat panen raya bersama petani Lamongan
Editor : Slamet'S | 17:40 WIB
News-Pantau.com, Surabaya - Seperti kita ketahui, akhir-akhir ini terjadi polemic terkait kebijakan impor beras. Hal ini ramai menjadi perhatian public pasca pemerintah yang diwakili Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada Kamis (4/3/2021) lalu mengatakan bahwa untuk menjaga ketersediaan beras di dalam negeri, penting untuk dilakukan agar harganya bisa tetap terkendali dan dilakukan impor beras sebanyak 1 juta ton.
Diantara beragam sikap yang menyeruak pasca kebijakan tersebut adalah ulasan menarik dari Ketua Umum Perempuan Tani HKTI, Dian Novita Susanto, M.Si.
“Ini bukan persoalan pro atau kontra. Melainkan sebagai bentuk pertimbangan bagi pemerintah agar ada transparansi dan keterbukaan data terkait pertanian. Karena Presiden Joko Widodo dalam dokumen Nawacita telah menjadikan kedaulatan pangan sebagai salah satu program prioritas.
Anggaran Kementerian Pertanian pun naik berkali-kali lipat bahkan yang tertinggi sepanjang sejarah Republik ini. Berturut-turut 2014 (14,23 Triliun), 2015 (32,72 Triliun), 2016 (27,72 Triliun) 2017 (24,22 Triliun), 2018 (24,03 Triliun), 2019 (21,71 Triliun)”, jelasnya dalam tulisan opini yang dikupas berbagai media online.
“Anggaran tersebut menunjukkan komitman pak Presiden untuk tetap menempatkan sektor pertanian menjadi prioritas, terutama komoditas pangan yang masih diimpor dalam jumlah besar seperti jagung, kedelai, dan beras. Terbukti, pada 2020 lalu, tidak ada impor beras. Namun awal Maret 2021, publik terutama petani dikagetkan dengan rencana pemerintah Indonesia yang akan mengimpor beras yang jumlahnya sampai 1 juta ton. Padahal Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan produksi beras periode Januari-April 2021 cukup tinggi, diangka 14,54 juta ton artinya meningkat 26,84 persen dibandingkan produksi beras periode yang sama tahun 2020 yang hanya 11,46 juta ton. BPS juga menghitung panen raya dibulan yang sama ± 4,8 juta ton beras.”
“Untuk itu, alangkah baiknya jika ada koordinasi efektif antara para stakeholder terkait, Kemenko Perekonomian, Kementan, Kemendag, Bulog, BPS, dan DPR RI. Penting menkaji dengan tepat mengenai data ril produksi, cadangan beras, kebutuhan dan harga. Transparansi diperlukan agar tidak ada kebijakan impor yang salah. Jika kemudian hasilnya menunjukkan stok pangan masih cuku, lantas kebijakan impor untuk apa dan siapa?”, pungkasnya.
Opini tersebut didukung banyak pihak, terutama dari aktivis perempuan yang tergabung di dalam PTHKTI tersebut, diantaranya Dr. Lia Istifhama Ketua DPD PTHKTI Jatim, yang dihubungi secara virtual pada (14/3/2021).
“Saya pernah mendengar langsung pidato pak Mentan (Dr. H. Syahrul Yasin Limpo, red.) saat launching Gerbang Tani di Sidoarjo 2020 lalu. Beliau sangat berharap sinergitas kuat multistakeholder untuk kemajuan negeri ini. Dengan begitu, sangat penting stimulus yang menggairahkan semangat petani. Karena salah satu pondasi kemajuan negeri terletak pada kekuatan pangan pertanian,” tambahnya.
“Jadi, jangan sampai terjadi sebuah analisa yang kurang tepat dari pihak tertentu yang efeknya secara domino membuat tidak nyaman dalam masyarakat. Terlebih, kita semua harus akui, bahwa nasib Kesehatan anak cucu kita terletak pada perjuangan petani. Kalau petani enggan ke sawah lagi, lantas bagaimana anak cucu kita bisa mendapatkan makanan berbahan alami? Jangan sampai semua makanan bahan pabrikan.”
“Selain itu, jika semangat petani semakin turun akibat mempertahankan ekonomi produktif melalui sawah memang sarat perjuangan dan akibat fatalnya tidak ada yang mau ke sawah, maka terjadi kemubadziran keindahan alam negri ini. Saya kira, semua kebijakan pasti ada pertimbangan-pertimbangan, namun jangan sampai ada sisi yang missed untuk dipertimbangkan sehingga akibatnya justru tidak sesuai harapan bersama.” tandasnya.
(Darwin/And/Sam).