Harga Cabai Belum Jinak, Ini Kata Para Aktivis Muda Jatim
Editor : Samhori | 22:40 WIB
News-Pantau.com, Sebelum rencana impor beras dan impor garam menjadi polemik bagi masyarakat terutama kalangan aktivis, publik telah menaruh perhatian pada kenaikan drastis harga cabai. Diantara yang turut berbicara mengenai cabai adalah dua aktivis muda NU yaitu Lia Istifhama dari Surabaya dan Latif Hazard yang juga seorang petani dari Sampang. Menjadi narasumber, keduanya mengisi dalam dialog sudut pandang TVRI (16/3) yang dipandu Ario Wibowo. Dari sisi pemerintah, hadir Eka Setya Budi dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Jawa Timur. Oleh Lia, cabai dinilai sebagai salah satu komoditi yang memiliki fluktuasi tinggi.
“Bukan saat ini saja harga cabai unpredictable, tidak mudah diprediksi karena sangat votality atau fluktuasinya tinggi. Tiba-tiba harga melonjak naik, tiba-tiba turun. Lonjakannya agak aneh karena tidak berjalan sesuai hukum ekonomi supply demand yang seharusnya terjadi”, ujarnya.
“Seharusnya, harga naik tinggi jika memang supply menurun drastis atau terjadi kelangkaan. Tapi ini tidak begitu. Penurunan memang terjadi akibat musim hujan yang berpotensi membuat gagal panen, namun lonjakan harga terlalu drastis. Sebagai contoh dalam satu semester terakhir, September 2020 harga cabai kisaran Rp. 5000-8000 per kg namun pada awal 2021 hingga Maret, harga cabai di atas Rp. 100.000 per kg. Tak heran, banyak pedagang pasar yang tidak mampu menjual banyak cabai, padahal cabai non durable goods yang masa tahannya hanya 2 sampai 5 hari.”
“Kalau ditelisik, naiknya harga cabai disebabkan faktor-faktor cost produksi yang memang melambung harganya, mulai dari benih, pestisida untuk membasmi hama lodo, pupuk, dan sebagainya. Oleh sebab itu, sangat penting agar siapapun lebih berhati-hati dalam menyampaikan analisanya. Sebagai contoh, sebaiknya jangan mudah menyampaikan harga cabai akan naik terus dalam beberapa bulan ke depan. Karena khawatirnya, statement prediksi tersebut berpotensi membuat multiplier effect yang kurang positif, diantaranya kepanikan dan potensi membuat oknum-oknum tertentu memanfaatkan keadaan dengan cara menaikkan beberapa item dalam cost produksi,” pungkasnya yang juga menyampaikan pentingnya teknik khusus agar cabai tidak cepat basi dalam proses distribusinya.
Sedangkan Latif menjelaskan pentingnya kemudahan akses transportasi dalam proses produksi cabai, mulai dari kemudahan mendapatkan pupuk, pestisida, hingga proses pemasaran hasil panen cabai.
“Cabai kan cepat basi. Kalau dari petani pelosok Sampang contohnya, diambil tengkulak terus dikirim ke kota-kota lain, itu memakan waktu berapa hari? Ini saya kira faktor penting kenaikan harga, selain ketersediaan pestisida dan pupuk, sehingga perlu peran banyak pihak, terutama pemerintah untuk membantu para petani agar cabai tidak cepat basi dan bisa laku dijual. Karena semangat petani untuk tetap mau bercocok tanam cabai, tentunya menjadi harapan semua masyarakat,” jelasnya.
Harga cabai di wilayah lainnya, yaitu Blitar, masuk di pasar tradisional masih dalam kisaran 100 ribuan per kg. Hal ini sesuai yang disampaikan salah seorang petani desa Bhirowo, Mariati, via selluler kepada media ini Sabtu (20/3/2021).
“Kalau dari petani, cabai dibeli tengkulak dengan harga Rp. 90.000-95.000 per kg. Masuk di pasar biasanya di atas 100.000 per kg. Harga tinggi ini karena biaya produksi memang tinggi. Maka dari itu, ketersediaan pupuk, pestisida, tolong semakin diperhatikan dan jangan sampai cabai seperti valas yang berubah setiap jam. Sebagai contoh saat harga cabai anjlok, petani jelas dirugikan. Itu sebabnya, banyak petani yang mulai meninggalkan area persawahan. Diantaranya petani jeruk yang mulai enggan ke menanam karena serangan hama dan resiko gagal panen tinggi. Harapan kami sebagai petani, penting sekali penyuluh-penyuluh pertanian benar-benar turun ke petani-petani.”
(Hsn/Sam).